Selasa, 22 November 2011

Garuda belum beruntung, atau buntungkah!

“Untuk kesekian kalinya tim Garuda Indonesia tetap menjadi spesialis runner-up dalam ajang kejuaraan sepakbola yang diikutinya, tatkala the winner sudah didepan mata, tapi kenapa sekejap pula sirna seakan tak berjodoh dengan Garuda..”

Indonesia Bisa!!

Kata-kata inilah yang sering terdengar dan menggema di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) senin(21/11/2011)pukul 19.30 WIB. Tatkala Garuda Muda Indonesia menyambangi laga pamungkas melawan Malaysia dalam SEA GAMES XXVI.

Indonesia mampu unggul lebih dulu di awal pertandingan melalui tandukan Gunawan Dwi Cahyo di menit kelima. Namun Malaysia kemudian menyamakan kedudukan melalui Omar Mohd Asrarudin di menit 33. hingga peluit panjang di bunyikan skor akhir tetap bertahan 1-1

Euforia dan yel-yel dukungan Garuda Muda U-23 sontak terhenti dan hening ketika Garuda Muda tunduk 3-4 atas Harimau Malaya dalam laga tos-tosan yang sebelumnya main imbang 1-1 dalam waktu 2x45 menit hingga 2x15 menit perpanjangan waktu.

Kegagalan ini semakin memperpanjang daftar puasa gelar tim merah putih selama 20 tahun, ketika saat Indonesia merebut emas sepakbola di SEA Games 1991 di Manila. Setelah itu, Garuda hanya kerap menyanding status “Runner-up” bahkan Indonesia hanya pernah mengendus bau juaranya saja, tapi tak pernah benar-benar bisa merengkuhnya. Setelah 1991, beberapa kali Indonesia "nyaris" jadi juara, tapi tak lebih dari "nyaris", hanya "nyaris". Tidak di SEA Games, tidak di Piala AFF/Tiger. Semua serba "nyaris".
Dan bahkan tim merah putih senior “nyaris” menjadi lumbung gol dalam grup E dan harus mengubur mimpinya setelah menjadi juru kunci dalam pra Piala Dunia 2014 zona asia.

Karena terbiasa dengan "nyaris", itu pula yang selalu diulang-ulang dan diceritakan: nyaris mengalahkan Uni Soviet di Olimpiade 1956, nyaris lolos Olimpiade 1976, nyaris juara Piala AFF, dan nyaris-nyaris yang lain. Karena terbiasa dengan "nyaris" itu jugalah kita dilenakan oleh julukan-julukan yang simbolik saja: (pernah jadi) Macan Asia, negara gila bola, dll.,

Timnas selalu terlihat meyakinkan di awal. Seperti ketika Egi Melgiansyah dkk. melaju dari Grup A Sepakbola SEA Games 2011. Tapi itu tidak cukup karena diperlukan juga "bagus" di akhir. Hal itu juga dialami timnas senior asuhan Alfred Riedl di AFF 2010 lalu.
Terus terang, tim U23 saat ini hanya bagus dari sisi kegarangan serangan. Titus Bonai dan Patrich Wanggai punya naluri mencetak gol yang bagus. Sama seperti para pemain muda asal Papua lainnya. Begitu juga Boas Solossa ketika masih U23. Bisa jadi karena asahan tangan coach Rahmad Darmawan.

Tapi itu tidak cukup.


Indonesia belum bermain bola dengan benar. Maksudnya dengan pakem sepakbola yang semestinya. Bagaimana cara bertahan man to man dan zonal. Bagaimana pemain harus selalu berada di titik tertentu dalam situasi kehilangan bola. Bagaimana bergerak seirama saat kawannya tengah menguasai bola. Bagaimana pemain harus menjaga jarak dengan temannya tidak lebih dari 5 meter. Bagaimana berusaha merebut bola dari lawan, bagaimana membayangi lawan dan bagaimana-bagaimana lainnya.

Pendeknya, banyak pemain Indonesia yang belum paham bagaimana organisasi permainan sepakbola dijalankan. Padahal itu sangat mendasar. Karena setelah itu baru masuk dalam pembicaraan tahap lanjutan seperti skill individu, penggemblengan fisik, taktik dan strategi. Bermain sepakbola yang katanya simpel itu bukan hanya soal menendang, menyundul dan berlari.

Banyak pendukung Indonesia menilai tim U23 saat ini bagus. Lebih bagus dari seniornya. Mungkin saja. Tapi apa ukuran terminologi "bagus"? Apakah hanya karena menang atas Kamboja, Singapura yang 10 pemain dan Thailand yang 9 pemain? Kalau itu parameternya, tentu saja terlalu dini untuk menyebut "bagus". Atau jangan-jangan itulah level bagus bagi Indonesia. Dan kemudian mentok ketika bertemu lawan yang lebih bagus dan bermain sesuai pakem sepakbola universal.

Indonesia menang dalam 3 pertandingan awal karena lawannya kalah "garang" plus kemudian kehilangan pemain di sisa waktu. Tapi tanda bahwa Indonesia belum "bagus" bisa dilihat kala melawan Thailand di babak grup. Dengan 9 pemain, Thailand masih bisa menyerang sampai kotak penalti Indonesia. Itu berkat organisasi permainan yang sudah sesuai pakem. Lihat saja bagaimana bola lontaran dari area belakang Indonesia selalu bisa jatuh di kaki pemain Thailand. Karena Thailand menampatkan pemain-pemainnya di titik tertentu di mana bola akan lebih sering jatuh di sana.

Tak usah melihat bagaimana lapisan kedua U23 kita dibuat tak berdaya oleh Malaysia 1-0 di babak grup. Dengan gamblang kita bisa melihat lapisan pertama U23, ya Egi dan rekan-rekannya kemarin malam, juga dibuat kesulitan menciptakan gol ke gawang Malaysia. Determinasinya kurang matang. Bahkan pertahanan kita lebih sering kocar kacir saat Malaysia menyerang. Itu sebuah bukti para pemain belum memiliki pemahaman organisasi pertahanan yang seharusnya dilakukan

Padahal kekuatan serangan Malaysia tidak lebih hebat dari Indonesia. Para pemainnya hanya perlu mencari tempat kosong supaya bisa mendapat bola dari kawannya. Entah bola silang mendatar atau terobosan. Malaysia U23 adalah tim dengan pola permainan defensif. Setidaknya mereka lebih suka menunggu bola dari pada aktif merebut bola lawan.

Banyak pengandaian lain dari pertandingan kemarin malam. Andai Patrich tidak individual, andai fisik lebih mumpuni dan andai andai lainnya.

Skuad U23 Indonesia rata-rata pemain cadangan di klubnya. Jam terbang kurang. Bahkan yang jam terbangnya banyak (senior) pun tidak mendapat asupan organisasi permainan yang bagus dari pelatihnya di klub. Semua serba sporadis. Belum juga membahas skill bermain mereka yang "rusak" karena wasit di kompetisi Indonesia juga tidak kompeten menjalankan tugasnya.

Kelemahan lain dari timnas U23 kita adalah miskinnya improvisasi mereka. Aliran bola selalu terkesan "dipaksakan". Ketika mentok, lebih suka mengeksekusi sendiri. Berlama-lama menguasai bola di saat sudah ditekan oleh tiga pemain lawan. Mereka lupa bahwa mereka bukan Lionel Messi yang punya skill ajaib. Mereka lupa bahwa ada rekannya yang berdiri bebas menanti bola

Belum lagi kebiasaan pemain Indonesia yang menerapkan umpan jauh dan direct. Itu memang kebisaan dan kebiasaan mereka. Bahkan di saat pelatih tidak meminta timnya memainkan itu. Ini bukti bahwa pemain kita miskin improvisasi karena terkebiri kompetisi.

Tapi ini juga bukan salah pemain semata. Kembali, ini muara kesalahan klub dan kompetisi di Indonesia yang tidak jelas wujudnya.

Indonesia akan sulit berprestasi jika masih mengandalkan pembinaan sporadis tanpa perencanaan dan kurikulum yang matang didasari analisa kelayakan. Di saat sepakbola Indonesia masih dikelola tanpa program yang jelas, lupakan saja soal juara di level Asean.

Namun apa boleh baut, timnas tetap harus ada selama Indonesia masih berdiri. Upaya harus tetap dilakukan. Masyarakat tetap memberi dukungan membakar semangat. Tetapi pengelola jangan lupakan mengupayakan kompetisi yang layak.

sangat sulit berharap kompetisi akan layak dan sehat ketika PSSI dan anggotanya (klub) justru tidak berpikir soal itu kecuali hanya bagi-bagi harta dan politik oligarki. Padahal timnas adalah muara kompetisi yang sehat dan konsisten.

Terlebih lagi, Laga final Sea Games XXVI antara Indonesia vs Malaysia menyisakan kabar memilukan. Dua orang suporter meninggal dunia, diduga karena berdesak-desakan. Karena ingin memberikan dukungan kepada tim Garuda Muda .
Apalagi yang harus dipertanggung jawabkan ketika sudah menyangkut “nyawa” manusia, hanya permintaan maaf, pemberian santunan kepada keluarga duka, hal ini dirasa belum cukup karena perbaikan dan peningkatan keamanan di stadion harusnya lebih ditingkatkan untuk melayani permintaan masyarakat. Jangan sampai kedepannya stadion-stadion di Indonesia hanya menjadi “kuburan” bagi tim tuan rumah maupun “makam” bagi para supporter fanatik yang mendukung tim kesayangannya.
 
“seribu orang tua hanya bisa berdo’a, tetapi dengan satu pemuda dapat merubah segalanya.” –Bung Karno

sumber : www.detik.com, bola.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar